Tit.. tit… Ponselku berbunyi. Ada pesan baru dari seseorang. Setelah ku lihat siapa pengirimnya, aku tidak berminat lagi membacanya. Pesan itu dari Yuna, orang yang sangat mengganggu hari-hariku. Aku bingung, dia itu bodoh atau polos atau apa. Walaupun ku acuhkan ribuan kali, dia tetap saja mencari perhatianku. Yuna, jangan menggangguku lagi. Hubungan kita benar-benar sudah berakhir.
Mataku tertuju pada selembar kertas di sela-sela bukuku. Pasti dari Yuna. Aku pun penasaran. Aku ingin membaca surat itu.
Andri,
Pernahkah kamu mencintaiku? Tak bisakah kita kembali seperti dulu? Tak bisakah kita bersama lagi?
Yuna,
Pernahkah kamu mencintaiku? Tak bisakah kita kembali seperti dulu? Tak bisakah kita bersama lagi?
Yuna,
Singkat sekali, pikirku. Itu bukan surat tapi coretan tangan. Apa-apaan lagi dia. Aku benar-benar kesal dengannya. Aku tidak suka diganggu seperti ini. Sekali tidak, ya tidak. Kenapa aku bertemu gadis menyebalkan seperti dia?
Tapi, aku memang pernah mencintainya. Aku pernah dibuat bahagia oleh dirinya. Banyak kenangan indah di antara aku dan dia. Walaupun begitu, semua itu bukanlah alasan untuk bersama dia lagi.
“Yuna, ku pikir lebih baik kita akhiri saja semuanya disini. Ini bukan salah kamu ataupun aku. Sepertinya kita sudah tidak memiliki prinsip dan tujuan yang sama.” Aku berusaha untuk tidak menangis. Sebenarnya aku masih mencintainya, tapi aku mencintai gadis lain sekarang. Aku tidak mau menyakitinya lebih dalam lagi. Jadi, ku pikir lebih baik jika aku memutuskan hubungan ini.
“Andri, kamu gak bercanda, kan? Apa salahku? Aku sangat mencintaimu. Tapi, kenapa kamu lakukan hal ini padaku? Sudahlah. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Kalau ini keputusanmu, terserah kamu. Aku pergi.” Dengan berurai air mata, Yuna meninggalkanku disini. Ada sekelumit kesedihan di hatiku ketika melihatnya menangis. Maafkan aku, Yuna. Aku hanya tidak ingin menyakitimu lagi. Cukup sampai disini semua luka yang ku goreskan untukmu.
“Andri, kamu gak bercanda, kan? Apa salahku? Aku sangat mencintaimu. Tapi, kenapa kamu lakukan hal ini padaku? Sudahlah. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Kalau ini keputusanmu, terserah kamu. Aku pergi.” Dengan berurai air mata, Yuna meninggalkanku disini. Ada sekelumit kesedihan di hatiku ketika melihatnya menangis. Maafkan aku, Yuna. Aku hanya tidak ingin menyakitimu lagi. Cukup sampai disini semua luka yang ku goreskan untukmu.
Aku mengingat kembali saat itu. Sudah enam bulan berlalu. Bagaimana keadaan Yuna sekarang? Terbersit keinginan di hatiku untuk menanyakan kabarnya. Tapi, hal itu akan menambah penyesalan di hatiku. Walaupun saat ini aku mengacuhkan dia. Tak bisa ku pungkiri, di lubuk hatiku aku menyesal sudah melepaskan dia dari hidupku.
Setelah Yuna pergi, aku bersama dengan gadis itu. Aku mulai melupakan Yuna. Laura, nama gadis itu. Dia begitu berbeda dengan Yuna. Untuk sesaat, aku bisa melupakan Yuna. Tapi, hanya sesaat. Aku kecewa, aku di khianati oleh Laura. Hingga saat ini, aku pun sendiri.
Aku merebahkan tubuhku di ranjang. Ternyata, hidupku sangat pelik. Aku merindukan seseorang di sampingku. Ada ruang kosong di hati ini. Seseorang yang sangat mengerti aku. Apakah aku merindukan Yuna? Tidak mungkin. Dia sangat mengganggu hidupku. Dia tidak pernah mengerti apa yang aku mau. Tuhan, jangan biarkan aku sendirian disini. Kirimkanlah seseorang untuk menemani hari-hariku.
—
Aku menghampiri ibuku di meja makan. Aku sangat lapar pagi ini. Akibatnya aku makan dengan tergesa-gesa. Beberapa kali aku tersedak. Aduh, pagi-pagi sudah kena sial. Bagaimana nanti di sekolah? Apakah akan terjadi hal buruk nanti?
“Andri, makannya pelan-pelan sayang. Nanti kamu tersedak lagi. Ini, minum dulu!” Ibuku mengulurkan segelas air untukku. Dengan cepat, ku habiskan semuanya.
“Andri, makannya pelan-pelan sayang. Nanti kamu tersedak lagi. Ini, minum dulu!” Ibuku mengulurkan segelas air untukku. Dengan cepat, ku habiskan semuanya.
“Sayang, kemarin mama ketemu Yuna. Dia baik banget sama mama. Dia nanyain tentang kamu sama mama.” Ya ampun. Gadis itu begitu menyebalkan. Apa yang dia mau? Pasti dia ingin cari perhatian dengan ibuku. “Kamu kenapa, sayang? Mama bingung, kenapa kalian berpisah? Padahal dia gadis yang baik dan sopan.” Ibuku mulai menginterogasiku. Ini bukan waktu yang tepat.
“Mama, bukannya begitu. Andri tidak mencintainya lagi. Apakah itu sudah cukup untuk dijadikan sebuah alasan?” Aku menerangkan alasan yang sebenarnya pada ibuku. Seharusnya aku juga mengatakan hal ini kepada Yuna, supaya dia tidak menggangguku lagi. Tapi, aku tidak sanggup mengatakan hal itu kepadanya.
“Astaga. Andri, kamu itu kenapa? Hal itu bukan alasan bagimu untuk berpisah sama dia. Dangkal sekali cintamu kepadanya. Mama gak nyangka.” Apa lagi ini? Kenapa ibuku yang marah?
“Mama kenapa? Kenapa mama yang marah sama aku? Mau gimana lagi? Haruskah Andri membohongi perasaan Andri sendiri?” Aku mulai menampakkan egoku. Aku tidak terlalu suka jika ibuku ikut campur masalah pribadi seperti ini.
“Mama gak marah. Mama hanya terkejut saja. Sejujurnya mama sangat menyukai dia. Dia gadis yang baik, manis dan juga sopan. Dia memperlakukan mama dengan baik, seperti ibunya sendiri. Tapi, kalau itu keputusan kamu, mama hanya bisa mendoakan mudah-mudahan ini yang terbaik. Andri, janganlah kamu menyakiti orang yang kamu cintai, karena rasa sakit itu akan kembali kepadamu. Ingat itu, sayang!” Panjang lebar ibuku menceramahiku pagi ini. Ternyata ibu sangat menyayangi Yuna. Beruntung sekali dia, dapat dukungan dari ibuku.
“Iya, ma. Andri tahu kok. Andri pergi sekolah dulu, ya. Assalamualaikum.” Aku pamit dengan ibuku. Kucium tangan ibu. Sangat lembut. Seperti tangannya Yuna. Begitu halus. Ya, Tuhan. Kenapa aku teringat dia terus? Aku harus belajar hidup tanpa dia.
“Mama, bukannya begitu. Andri tidak mencintainya lagi. Apakah itu sudah cukup untuk dijadikan sebuah alasan?” Aku menerangkan alasan yang sebenarnya pada ibuku. Seharusnya aku juga mengatakan hal ini kepada Yuna, supaya dia tidak menggangguku lagi. Tapi, aku tidak sanggup mengatakan hal itu kepadanya.
“Astaga. Andri, kamu itu kenapa? Hal itu bukan alasan bagimu untuk berpisah sama dia. Dangkal sekali cintamu kepadanya. Mama gak nyangka.” Apa lagi ini? Kenapa ibuku yang marah?
“Mama kenapa? Kenapa mama yang marah sama aku? Mau gimana lagi? Haruskah Andri membohongi perasaan Andri sendiri?” Aku mulai menampakkan egoku. Aku tidak terlalu suka jika ibuku ikut campur masalah pribadi seperti ini.
“Mama gak marah. Mama hanya terkejut saja. Sejujurnya mama sangat menyukai dia. Dia gadis yang baik, manis dan juga sopan. Dia memperlakukan mama dengan baik, seperti ibunya sendiri. Tapi, kalau itu keputusan kamu, mama hanya bisa mendoakan mudah-mudahan ini yang terbaik. Andri, janganlah kamu menyakiti orang yang kamu cintai, karena rasa sakit itu akan kembali kepadamu. Ingat itu, sayang!” Panjang lebar ibuku menceramahiku pagi ini. Ternyata ibu sangat menyayangi Yuna. Beruntung sekali dia, dapat dukungan dari ibuku.
“Iya, ma. Andri tahu kok. Andri pergi sekolah dulu, ya. Assalamualaikum.” Aku pamit dengan ibuku. Kucium tangan ibu. Sangat lembut. Seperti tangannya Yuna. Begitu halus. Ya, Tuhan. Kenapa aku teringat dia terus? Aku harus belajar hidup tanpa dia.
—
“Andri, kamu baru datang, ya? Gimana kabar kamu sekarang?” Seorang anak perempuan menyapaku, Laura. Ada gerangan apa sehingga ia menyapaku hari ini? Setelah pengkhianatannya padaku kami tidak pernah berhubungan lagi.
“Emm, Laura. Aku baik-baik saja, kok. Ada apa, ya? Kenapa kamu menyapaku? What’s wrong?” Sikapnya aneh hari ini. Mungkin perasaanku saja. “Gak ada apa-apa, sih. Aku hanya ingin menyapa kamu saja. Memangnya gak boleh, ya?” Dia tersenyum padaku. Itu salah satu hal yang membuatku mencintainya. Tapi, itu dulu.
“Boleh, kok. Tapi aku mau ke kelas dulu, ya? Masih ada urusan sama teman-teman. Aku duluan, ya?” Sebelum aku melangkahkan kakiku, aku melihat sekelabat bayangan berlari menjauhi koridor tempatku berbicara dengan Laura. Itu Yuna. Kenapa dia lari? Apakah karena melihatku bersama Laura?
“Emm, Laura. Aku baik-baik saja, kok. Ada apa, ya? Kenapa kamu menyapaku? What’s wrong?” Sikapnya aneh hari ini. Mungkin perasaanku saja. “Gak ada apa-apa, sih. Aku hanya ingin menyapa kamu saja. Memangnya gak boleh, ya?” Dia tersenyum padaku. Itu salah satu hal yang membuatku mencintainya. Tapi, itu dulu.
“Boleh, kok. Tapi aku mau ke kelas dulu, ya? Masih ada urusan sama teman-teman. Aku duluan, ya?” Sebelum aku melangkahkan kakiku, aku melihat sekelabat bayangan berlari menjauhi koridor tempatku berbicara dengan Laura. Itu Yuna. Kenapa dia lari? Apakah karena melihatku bersama Laura?
Sepanjang hari ini, aku pun tidak melihat Yuna sejak pagi tadi. Setelah dia lari. Kemana dia? Tapi, apa juga peduliku. Dia itu cuma bisa menggangguku saja. Ketika aku tiba di rumah, tidak ada pesan dari Yuna. Biasanya dia selalu mengirim pesan untukku. Tapi, kenapa hari ini dia tidak melakukan hal itu?
Sampai malam pun, tidak ada pesan yang masuk dari Yuna. Kenapa tiba-tiba aku merindukan dia? Aku rindu semua pesan darinya. Aku rindu saat-saat ketika aku diganggu olehnya. Apa terjadi sesuatu padanya?
Dengan hati gelisah ku buka jejaring sosialku. Aku berharap dia online malam ini. Setidaknya aku ingin melihat status-status kesedihannya itu. Yupz, kali ini aku tidak salah. Dia menulis statusnya yang terbaru.
“Dunia, haruskah aku melepaskannya? Apakah aku harus berhenti mengejar hatinya? Aku terlalu lelah untuk itu…”
Hmm, orang yang dia maksud adalah aku. Jadi, Yuna sekarang tidak mau menggangguku lagi. Oh, suatu kemajuan. Tapi, kenapa aku merindukan hadirnya? Aku merasakan sesuatu di lubuk hatiku. Rasa sedih, rasa kehilangan seperti ketika ia menangis di hadapanku. Rasa sakit ketika aku memutuskan untuk meninggalkannya. Apa yang terjadi padaku? Sesuatu yang salah telah terjadi di hidupku dan aku baru menyadarinya sekarang.
—
Pagi ini dengan rasa sakit yang menusuk hatiku, aku berangkat ke sekolah. Aku berharap bertemu Yuna hari ini. Aku merindukan dia.
Beruntung aku melihat dia berjalan di depanku. Aku ingin memanggilnya tapi aku terlalu takut. Yuna, berhenti! Aku ingin bicara denganmu. Tapi, itu semua hanya aku katakan di dalam hatiku.
“Yuna, tunggu!” Aku memanggil namanya. Aku berlari mengejarnya ketika ku lihat ia mempercepat langkahnya. Jadi, ia mau menghindar dariku. Hal itu tidak akan ku biarkan.
“Yuna, aku mau bicara. Tak bisakah kamu berpaling kepadaku?” Aku memintanya untuk menatap mataku. Ia kemudian berbalik dan menghadap ke arahku. Ku lihat mukanya sangat pucat. Kedua matanya sembab. Tetap saja, ia tak pernah berubah. Cengeng.
“Ada apa?” Dua kata keluar dari bibirnya yang tipis. Hanya itu yang ia katakan. Sangat singkat, pikirku.
“Aku ingin bilang sama kamu kalau aku…” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, ku lihat ia kehilangan keseimbangan. Dengan cepat ku rangkul tubuhnya. Apa yang terjadi? Matanya terpejam. Apa dia akan meninggal?
Beruntung aku melihat dia berjalan di depanku. Aku ingin memanggilnya tapi aku terlalu takut. Yuna, berhenti! Aku ingin bicara denganmu. Tapi, itu semua hanya aku katakan di dalam hatiku.
“Yuna, tunggu!” Aku memanggil namanya. Aku berlari mengejarnya ketika ku lihat ia mempercepat langkahnya. Jadi, ia mau menghindar dariku. Hal itu tidak akan ku biarkan.
“Yuna, aku mau bicara. Tak bisakah kamu berpaling kepadaku?” Aku memintanya untuk menatap mataku. Ia kemudian berbalik dan menghadap ke arahku. Ku lihat mukanya sangat pucat. Kedua matanya sembab. Tetap saja, ia tak pernah berubah. Cengeng.
“Ada apa?” Dua kata keluar dari bibirnya yang tipis. Hanya itu yang ia katakan. Sangat singkat, pikirku.
“Aku ingin bilang sama kamu kalau aku…” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, ku lihat ia kehilangan keseimbangan. Dengan cepat ku rangkul tubuhnya. Apa yang terjadi? Matanya terpejam. Apa dia akan meninggal?
Aku meminta tolong kepada beberapa siswa lain untuk membantuku membawa Yuna ke ruang UKS. Beberapa menit berlalu, tapi ia belum sadarkan diri. Yuna pingsan, begitu kata dokter yang bertugas di sekolahku. Ya, Tuhan. Jangan kau ambil nyawanya. Aku sangat membutuhkan dia.
Tak lama kemudian, ia sadarkan diri. Aku sangat bahagia. Aku betul-betul takut kehilangan dia. Aku menatap matanya. Tiba-tiba debar-debar cinta berkecamuk di hatiku. Rasanya sudah lama aku tidak merasakannya. Dia tersenyum padaku, membuat jantungku makin berdetak kencang. Ternyata, aku jatuh cinta lagi padanya. Cinta untuk yang kedua kalinya kepada dia, orang yang sama yang dulu pernah ku cintai. Aku tidak bisa menahan perasaanku lagi. Aku sangat ingin bersama dia lagi.
“Yuna, maafkan aku. Sekarang aku sadar, aku sangat mencintaimu. Aku tidak mau kehilangan kamu lagi. Maukah kau merajut cinta kita lagi?” Aku berharap-harap cemas. Aku betul-betul takut kehilangan dia. Yuna, aku janji. Aku tidak akan menyakitimu lagi. Aku hanya akan membuatmu tersenyum seperti saat ini.
Ia kemudian menganggukkan kepalanya. Ia mau menerima aku kembali. Yuna, terima kasih. Cukup sekali aku kehilanganmu. Aku tidak akan lagi membiarkanmu pergi. Percayalah padaku, aku akan membuatmu tersenyum setiap hari. Aku berjanji. Aku jatuh cinta kepadamu untuk yang kedua kalinya, Yuna.
Kelua, 7th July 2012
Cerpen Karangan: Rahmi Pratiwi
Facebook: Rahmi Chelsea Ayumi Aprilia
Facebook: Rahmi Chelsea Ayumi Aprilia
Nama: Rahmi Pratiwi
TTL: Kelua,27 April 1996
Sekolah: SMA N 1 Kelua Kelas XII IPA 2 (Tabalong Kalsel)
TTL: Kelua,27 April 1996
Sekolah: SMA N 1 Kelua Kelas XII IPA 2 (Tabalong Kalsel)
0 comments:
Post a Comment