Monday, June 3, 2013
tanjidor
Salah satu jenis musik Betawi yang mendapat pengaruh kuat dari musik Eropa. Pada musik Tanjidor alat musik yang paling banyak dimainkan adalah alat musik tiup, seperti klarinet, piston, trombone serta terompet. Jenis musik ini muncul pada abad ke-18, yang ketika itu dimainkan untuk mengiringi perhelatan atau mengarak pengantin. Namun akhir-akhir ini musik tanjidor sering ditampilkan untuk menyambut tamu agung. Merupakan suatu ansambel musik yang namanya lahir pada masa penjajahan Hindia Belanda di Betawi (Jakarta). Kata "tanjidor" berasal dari kata dalam bahasa Portugis tangedor, yang berarti "alat-alat musik berdawai (stringed instruments)". Tetapi dalam kenyataannya, nama Tanjidor tidak sesuai lagi dengan istilah asli dari Portugis itu. Namun yang masih sama adalah sistem musik (tonesystem) dari tangedor, yakni sistem diatonik atau duabelas nada berjarak sama rata (twelve equally spaced tones). Ansambel Tanjidor terdiri dari alat-alat musik seperti berikut: klarinet (tiup), piston (tiup), trombon (tiup), saksofon tenor (tiup), saksofon bas (tiup), drum (membranofon), simbal (perkusi), dan side drums (tambur).
Pemain-pemainnya terdiri dan 7 sampai 10 orang. Mereka mempergunakan peralatan musik Eropa tersebut, untuk memainkan reportoir laras diatonik maupun lagu-lagu yang berlaras pelog bahkan slendro. Tentu saja terdengar suatu suguhan yang terpaksa, karena dua macam tangga nada yang berlawanan dipaksakan pada peralatan yang khas berisi kemampuan teknis nada-nada diatonik. Karena gemuruhnya bahan perkusi, dan keadaan alat-alat itu sendiri sudah tidak sempuma lagi memainkan laras diatonik yang murni, maka adaptasi pendengaran lama kelamaan menerimanya pula.
Para pemain Tanjidor kebanyakan berasal dari desa-desa di luar Kota Jakarta, seperti di daerah Tangerang, Indramayu dll. Dalam membawakannya, mereka tidak dapat membaca not balok maupun not angka, dan lagu-lagunya tidak pula mereka ketahui dan mana asal-usulnya. Namun semua diterimanya secara aural dari orang-orang terdahulu. Ada kemungkinan bahwa orang-orang itu merupakan bekas-bekas serdadu Hindia Belanda, dan bagian musik. Dengan demikian peralatan musik Tanjidor yang ditemui kemudian tidak ada yang masih baru, kebanyakan semuanya sudah bertambalan pateri dan kuning, karena proses oksidasi.
Pada zaman dahulu dikala musim mengerjakan sawah, mereka menggantungkan alat-alat musik Tanjidor di rumahnya begitusaja pada dinding gedeg atau papan, tanpa kotak pelindung. Setelah panen selesai, barulah kelompok pemusik tersebut berkutat kembali dengan alat-alat Tanjidor mereka, untuk kemudian menunjukkan kebolehannya bermusik dengan berkunjung dari rumah ke rumah, dari restoran ke restoran dalam Kota Jakarta, Cirebon, melakukan pekerjaannya yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan ngamen atau mengamen. Musik Tanjidor ini lazimnya akrab dengan perayaan Cina, Cap Co Meh; di Cirebon, terdapat pada jalan masuk kompleks masjid serta Makam Sunan Gunung Jati: merayakan hari besar Islam, atau hari sedekah bumi yang menjadi tradisi masyarakat petani di Cirebon. Diantara lagunya yang terkenal adalah Warung Pojok.
Diantara lagu-lagu lain yang sering dibawakan oleh orkes Tanjidor, antara lain Kramton, Bananas, Cente Manis, Keramat Karam (Kramat Karem), Merpati Putih, Surilang, dll. Lagu Keramat Karam lahir karena peristiwa meletusnya Gunung Krakatau yang menelan banyak korban. Lagu-lagu tersebut dimainkan atas dasar keinginan masyarakat kota Betawi yang pada tahun 1920-an sangat digemari dan dianggap 'lagu baru' pada masa itu. Adapun Lagu Kramton dan Bananas adalah lagu Belanda berirama mars.
Asal Usul Tanjidor: Tanjidor sebagai satu jenis kesenian musik asli Betawi, dimainkan secara berkelompok. Mengenai asal usul dan sejarah munculnya kesenian ini terdapat beberapa pendapat yang berbeda-beda. Menurut peneliti sejarah Paramita Abdurrachman, dalam bahasa Portugis terdapat kata tanger yang berarti "memainkan alat musik". Seorang tangedor hakikatnya seorang yang memainkan alat musik berdawai di dalam ruangan. Istilah tangedores kemudian berarti brass band yang dimainkan pada dawai militer atau pegawai keagamaan.
Sampai sekarang di Portugal tangedores mengikuti pawai-pawai keagamaan pada pesta penghormatan pelindung masyarakat, misal pesta Santo Gregorius, pelindung Kota Lissabon, tangga124 Juni. Alat-alat yang dipakai adalah tambur Turki, tambur sedang, seruling dan aneka macam terompet. Biasanya pawai itu diikuti boneka-boneka besar yang selalu berjalan berpasangan. Satu berupa laki-laki, yang lain perempuan, dibawa oleh dua orang, yang satu duduk di atas bahu orang yang berjalan. Boneka-boneka itu mirip dengan Ondel-ondel Betawi yang mengiringi rombongan Tanjidor.
Ernst Heinz, seorang ahli Musikologi Belanda yang mengadakan penelitian musik rakyat di pinggiran Kota Jakarta tahun 1973, berpendapat bahwa musik rakyat daerah pinggiran itu berasal dari budak belian yang ditugaskan main musik untuk majikannya. Mula-mula pemain musik terdiri atas budak dan serdadu. Sesudah perbudakan dihapuskan, mereka digantikan pemusik bayaran. Tetapi yang jelas para pemusik itu orang Indonesia yang berasal dari berbagai daerah, diberi alat musik Eropa dan disuruh menghidangkan bermacam musik pada berbagai acara. Alat musik yang dipakai kebanyakan alat musik tiup, seperti klarinet, terompet Perancis, komet dan tambur Turki.
Pada mulanya mereka memainkan lagu-lagu Eropa karena harus mengiringi pesta dansa, polka, mars, lancier dan lagu-lagu parade. Lambat laun mereka juga mulai memainkan lagu-lagu dan irama khas Betawi. Instrumen yang kuat-kuat ini bisa dipakai turun-temurun. Setelah pemain tidak lagi menjadi bagian dalam rumah tangga orang Barat, lahirlah rombongan-rombongan amatir yang tetap menamakan diri "Tanjidor".
Ahli sejarah Batavia lama, Dr. F. De Haan berpendapat bahwa pemusik keliling ini berasal dari orkes-orkes budak zaman Kompeni. Dalam karyanya berjudul Priangan, de Haan menunjukkan catatan tentang Cornelia de Bevers yang mempunyai 59 orang budak belian dalam tahun 1689. Pembagian kerja di antara para budak itu, antara lain "Tiga atau empat anak laki-laki berjalan di belakang saya dan suami saya kalau kami berjalan keluar, ditambah budak perempuan sejumlah itu pula". Pada waktu makan pasangan suami isteri itu didampingi lima sampai enam budak pelayan meja, kemudian masih ada lagi tiga orang budak laki-laki yang masing-masing bertugas memainkan bas, biola, dan harpa sebagai musik pengiring makan.
Valentjn juga menyebutkan tentang konser-konser yang dimainkan oleh budak. Umumnya mereka memakai instrumen berdawai. Orkes-orkes itu makin lengkap ketika para pemain diberi tambahan alat tiup. Nekara (pauken), tambur Turki dan triangle, seperti halnya orkes milik Gubernur Jenderal Valckenier (1737) yang berkekuatan 15 orang. Sedang Anfreas Cleyer seorang pejabat tinggi Kompeni, mengatakan "mempunyai kelompok musik lengkap di rumahnya, melulu dari budak-budak yang ahli memainkan segala alat musik. .. ". Banyak sumber menyebutkan bahwa orkes rumah tersebut ikut dilelang apabila majikannya meninggal.
0 comments:
Post a Comment