Test Footer 2

Wednesday, September 25, 2013

akhir cerita si playboy

     Bicara tentang cinta, ya Boy dah biangnya. Si petualang cinta alias sang play boy ini akan mati-matian dan bila perlu sampe bersujud untuk merayu dan mendapatkan seorang cewek cantik. Sang play boy ini tidak akan pernah tahan bila sudah melihat cewek cantik melintas di depan matanya, seakan matanya tidak akan pernah berkedip untuk terus mengikuti langkah kaki sang cewek. Ya bila perlu sampe membuntuti dari belakang (emangnya mau nyopet, Boy?).

    Singkat cerita Boy bakalan jungkir balik dah untuk mendapatkan sang cewek bila sudah naksir banget. Boy kagak perduli apakah nantinya itu cewek bakalan mau apa nggak? Apakah hubungannya nanti akan berlangsung lama atau nggak? Bagi Boy kudu mandapatkannya dulu, apapun caranya.

   Lantaran cap play boy nya itu, si petualang cinta ini suka gonta ganti cewek (kayak baju aja Boy, digonta ganti). Tapi sayang dimata cewek-cewek di sekolahnya kartunya udah mati kagak bisa diperpanjang (kayak KTP aja ah). Sehingga sang play boy harus berpetuang di tempat lain, kecuali ada anak baru di sekolah ini yang kagak tahu dengan belangnya Boy.

   Awal cerita neh. Pada suatu hari, Boy lagi ngebet banget sama Lila, adik kelasnya yang baru aja menjadi siswi di sekolahnya. Padahal saat itu, Boy sudah memiliki gandengan (kayak truk aja pake gandengan segala), si Ivon anak SMU 2.

    ”Jek, gua naksir banget nih ame anak baru,” kata Boy curhat dengan sobatnya Jaka yang biasa dipanggil Jek.

    ”Ah! Elo kagak boleh melihat barang baru apalagi yang cantik-cantik dan mulus-mulus,” jawab Jek. ”Tuh! Ada yang mulus, kenapa kagak lo embat aja sekalian?” lanjut Jek sambil tertawa menunjuk ke arah Pak Didin, guru Fisika yang jidatnya emang rada botak licin.

”Bercanda lu ah! Gua serius nih,” gerutu Boy.

     Untuk cewek-cewek baru angkatan Lila, memang Lila bidadarinya. Orangnya cantik, putih dan tinggi lagi, perfect dah pokoknya. Tapi sepertinya bila dilihat, kayaknya Lila terlalu tangguh, lincah dan pinter untuk ditaklukan oleh sang play boy. Hati-hati Boy! Ini bakalan jadi batu sandungan buat lo. Lila juga terbilang cukup menonjol dan heboh diantara temen-temennya. Apalagi kalau sudah ngumpul maka suaranya akan lebih menonjol dan kedengeran kemana-mana.

      Tapi dasar udah bergelar master play boy, akhirnya sang petualang berhasil juga dengan perjuangannya yang mati-matian dan bisa dibilang jungkir balik, rada susah banget memang untuk mendapatkan Lila. Akhirnya Sang play Boy berhasil meruntuhkan tembok hati Lila, runtuh oleh rayuan maut sang play boy yang memang sudah terkenal itu.

      Ups! Tapi tunggu dulu sobat. Tadinya memang Lila belum tahu dengan Boy, tapi karena ia sudah lama temenan dengan Ivon, sehingga ia akhirnya tahu juga siapa Boy. Boy nggak tahu dengan situasi itu, ya karena asal seruduk aja kagak diselidiki dulu, siapa cewek yang bakal diseruduk (yah, itu tadi kelemahan si Boy maen seruduk aja. Kambing kali ya?) sorry Boy!.

     Rupanya Sob, sang play boy sudah terperangkap dalam jeratan permainan cintanya sendiri. Boy terperangkap ke dalam skenario sandiwara cinta yang sudah dibuat oleh Lila. Lila memang menerima cintanya Boy, tapi ada maksud dan tujuannya. Itu bukan berarti ia mau berkhianat dengan temennya sendiri, Ivon. Karena skenario itu sudah ia beritahu sebelumnya kepada Ivon.

     Lila yang cantik, lincah dan pintar ini, rupanya hanya ingin memberi pelajaran ekstra kurikuler kepada sang play boy. Dia tidak ingin kecantikannya dimanfaatkan hanya untuk dipermainkan, termasuk Ivon yang telah menjadi korbannya.

     Walau terbilang anak baru, Lila termasuk cepat menyesuaikan keadaan dan peka dengan situasi perkembangan yang ada di sekolahnya, demikian juga dengan watak dan perilaku Boy yang sebaliknya akan menjadi korbannya. Ya, lantaran karena dia cukup gaul, sehingga sangat cepat mendapat kabar baru atau gosip-gosip dari teman-temannya.

     Tapi secara naluriah wanita, mata hatinya tak bisa memungkiri, jika Boy terbilang cakep sehingga layak menjadi play boy. Wajar kalau Ivon pun jatuh cinta kepada Boy waktu itu. Cuma sayang kegantengan yang dimilkinya hanya untuk merayu dan berpetualang guna mendapatkan cewek-cewek cantik yang ia sukai. Boy lupa diri sehingga ia tidak tahu bahwa kaum cewek juga harus dan wajib dihargai dan disayangi, bukan untuk dipermainkan.

     ”La, elo kok mau aja menerima cintanya Boy. Nekat lu!” kata Mery merasa khawatir dan prihatin sama Lila. Wajar Mery khawatir, karena ia takut temannya yang cantik ini hanya akan menjadi boneka mainan, korban keserakahan cinta sang play boy.

    ”Terima kasih ya, Mer kamu telah mengingatkan dan menasehati aku. Aku tahu kamu khawatir kalau aku akan menjadi korban cintanya Boy. Tapi kamu tidak usah takut dan khawatir, aku sudah tahu kok siapa Boy sebenarnya. Aku menerima dia, bukan lantaran kegantengannya atau rayuan gombal murahannya. Lantas aku dengan begitu murahannya jatuh ke dalam pelukan Boy. Caranya dan rayuannya udah kuno terlalu konvensional, mudah ditebak, sayang,” kata Lila meyakinkan sobatnya Mery.

     ”Syukurlah kalau kamu sudah tahu siapa dia. Aku berdo’a moga kamu tidak terjebak dalam permainan cintanya Boy,” kata Mery lagi.

     ”Iya aku mengerti Sob. Tapi percayalah, sebenarnya skenario ini aku jalani ada maksud dan tujuannya, Mer. Tapi bukan berarti aku juga mau mempermainkan orang atau mau balas dendam sama cowok yang seperti ini, seperti yang pernah aku alami sebelumnya (ooo ...pernah mengalami bro). Gua hanya ingin dia bisa membuka mata dan hatinya, agar dia juga bisa menghargai kita sebagai kaum wanita yang secara fisik lemah dan butuh perlindungan. Kita bukan boneka yang hanya bisa dipermainkan untuk menjadi eksperimen cintanya kaum laki-laki.” Lanjut Lila.

     ”Baguslah kalau kamu punya pemikiran dan prinsip yang begitu luar biasa untuk memperjuangkan dan mempertahankan harga diri wanita,” kata Mery senang.

     ”Gua yakin, dia tidak akan bisa berbuat banyak dan macam-macam sama gua. Justru dia akan terperangkap sendiri dalam permainnan ini. Biar kelak dia tahu rasa, bagaimana rasanya kalau dipermainkan. Kuharap satu saat kelak dia nyadar telah menyakiti hati cewek-cewek yang telah menjadi korbannya.”

      Bener. Dalam tiga bulan hubungan Lila dengan Boy, apa yang dikhawatirkan oleh Mery, benar-benar terjadi. Rupanya diam-diam Boy sedang menjalin hubungan dengan Kania, tetangga barunya Jek. Tapi bagi Lila itu bukanlah sebuah berita menakutkan, ibarat kesambar petir disiang bolong. Baginya itu bukan sebuah kejutan atau petaka baginya yang harus disesali dan yang ditakutkan oleh semua cewek. Apa yang akan terjadi kedepan semua sudah jauh ada dalam pikirannya. Itu pasti akan terjadi cuma menunggu waktu. Dalam pikirannya justru itu adalah awal petaka bagi Boy dan tentunya akan menambah serunya rencana permainan yang akan dibuat oleh Lila.

      Ingat Boy! Ada pepatah mengatakan sepintar-pintar tupai melompat pasti akan jatuh juga, dan sepandai-pandai orang menyimpan kebusukan pasti akan tercium juga. Hukum karma pasti akan ada, Boy.

      Elo bukan play boy, Boy. Elo lebih tepat dibilang bajing yang bajingan. Tunggu tanggal mainnya, lo. Semua akan berakhir, Boy. Gua akan beraksi, yang akan bikin lo bertekuk lutut di kaki gua, bisik Lila dalam hati.

      Boy yang piawai dengan rayuannya dan ditambah dengan akting sempurna, bolehlah dibilang jagonya. Kata-katanya begitu manis dan santun dengan rayuannya akan membuat siapapun terkena tipu dayanya. Ditambah lagi dengan kepandaiannya mengatur strategi jitu dalam mengatur jadwal ngapel ke rumah pacar-pacarnya. Biar nggak dicurigai, ia selalu bilang kepada cewek-ceweknya, kalau ia ngapel nggak tergantung hanya pada malam minggu (kalau ngapelnya malam Jum’at, yasinan aja sekalian, Boy. He...he..he). Tetapi strategi seperti itu sudah duluan terbaca oleh Lila. (lagi-lagi terlalu konvensional, coy). Basi tau nggak! Sehingga Lila pun kagak terlalu mikirin banget tu anak mau ngapel atau kagak, termasuk pada malam minggu.

      Melihat pertualangan sang play boy sudah over pede dan semakin menggila, karena denger-denger lagi, dia baru aja mau mendekati seorang cewek. Gila nggak tuh! Padahal ia belum lama menggaet si Lila (Gila bro! Lo doyan cewek apa lagi nuntut ilmu, Boy. Harus sampe berapa sih, cewek yang harus lo dapet, biar ilmu lo sempurna?).

      Akhirnya Lila pun mulai mengatur rencana dan strategi pula buat ngerjain Boy. Seminggu sebelum menjalankan rencananya, Lila segera menghubungi Ivon. Sementara karena si Kania belum ia kenal, kemudian ia dan Ivon pun berusaha mencari dan menemui Kania. Setelah Lila dan Ivon menceritakan semua rencanya kepada Kania, mereka pun sepakat dan menjadi akrab sehingga mereka pun bersatu untuk menumpas kejahatan (kayak di sinetron silat aja).

      Beberapa hari menjelang hari eksekusi terhadap Boy, ketiga bidadari itu pun sering berkumpul di rumah Lila dan berbagi cerita termasuk strategi nantinya. Merekapun akhirnya mempunyai tujuan yang sama yaitu membikin kapok dan mempermalukan si Boy, yang emang nggak punya rasa malu.

Sabtu, sehari sebelum rencana Lila dan temen-temennya dilaksanakan, mereka bertiga sengaja ngumpul di rumah Lila, karena hari itu rencananya Boy akan datang ke rumah Lila.

”Sebentar lagi Boy akan datang. Ntar kalian berdua ngumpet aja dulu di kamarku sambil nguping,” kata Lila mengatur strategi awal.

”Siplah!” jawab Kania.

”Terus langkah selanjutnya gimanah nih?” tanya Ivon pula.

”Nanti biarkan kita berdua seolah-olah enjoy dulu, ntar tugas kamu Von teleponin si Boy. Biar dia gelisah kita kerjain. Tapi ingat ini baru sebahagian dari rencana kita yang sebenarnya, karena rencana besar itu besok baru kita tumpahkan,” kata Lila ngejelasin.

”Oke kalau begitu,” kata Ivon sambil mengangguk dan bersemangat.

Tak beberapa lama setelah mereka bertiga ngerumpi, akhirnya Boy pun datang walaupun agak terlambat dari waktu yang telah dijanjikannya kepada Lila. Tapi itu semua tidak berarti bagi Lila, dan masa bodoh ah! baginya.

”Dasar jam karet,” bentak Lila pura-pura menggerutu seolah perhatian.

”Sorry deh telat dikit,” jawab Boy seolah tanpa dosa dan pede banget. ”Oya, gimana kalau kita keluar aja?” ajak Boy guna mengalihkah agar Lila nggak marah.

”Emangnya mau kemana?” tanya Lila asal.

”Terserah kemana, yang penting kita keluar aja,” kata Boy.

”Gua lagi males nih. Gua pingin di rumah aja,” jawab Lila penuh sandiwara. Sementara apa yang berputar dalam otak Lila, mampus ntar lo, nayawamu tinggal sedikit lagi, Boy.

Ketika Boy mau bicara lagi, tiba-tiba aja Hpnya berdering. Sementara dari raut wajahnya terlihat salah tingkah dan gugup banget, karena ternyata yang menghubunginya adalah Ivon. Gawat! Mati gue! pikirnya. Lila yang sudah tahu sebelumnya ambil gaya berpura-pura cuek dan nggak peduli banget, karena ia sudah tahu kalau itu dari Ivon.

”Bentar La,” kata Boy sambil meninggalkan Lila dari ruang tamu dengan penuh gundah menuju teras rumah, karena ia takut pembicaraannya didengar Lila. Padahal bagi Lila itu nggak penting banget.

”Halo Boy! Elo lagi dimana? Kok nggak jadi ke rumah kemaren?” tanya Ivon iseng seolah-olah ia berharap banget. Padahal ia hanya ingin menguji kejujuran Boy aja, walaupun sebenarnya dia sudah tahu apa jawabannya.

Ya nggak mungkin akan jujur orang seperti ini, abis emang sudah dari sononya nggak pernah jujur. Janjian mau ketemu dengan Ivon aja bisa batal. Ntah keduluan janjian dengan siapa saat itu sehingga nggak jadi ke rumah Ivon.

”Sorry ya, kemaren gua lupa. Gua sekarang lagi di rumah Jek,” jawabnya berbohong. Sementara matanya terus mengamati Lila di dalam rumah, karena khawatir kalau Lila nanti bisa mendengar pembicaraanya dengan Ivon. Bisa kiamat pikirnya.

Lo nggak perlu khawatir Boy, walau Lila nggak dengar, Lila nggak bakalan percaya sama elo. Jujur aja orang sudah kagak percaya sama elo, apalagi kalau elo berbohong.

Tapi sayang, rupanya suara Boy terdengar juga dengan Lila. ”Busyet! Sialan! Emang dasar buaya darat kampungan,” kata Lila ngomel sendiri dari dalam rumah. ”Elo lebih mentingin si Jek daripada kita-kita,” lanjut Lila lagi yang emang udah geram banget sama Boy.

”Elo lebih mentingin Jek daripada gua,” jawab Ivon pula dengan asal.

”Bukan begitu, sayang. Kemaren gua lupa ngasih tahu ke elo, kalau kemaren di rumah Jek lagi ada selamatan,” jawab Boy dengan penuh gombal kampungan. Sorry Jek, elo jadi tempat berlindung gua, bisik hati Boy.

Sayang kentut lo! bisik hati Ivon.

”Ya udah kalau begitu, sampe ketemu,” kata Ivon menutup pembicaraan.

Tak beberapa lama kemudian, dengan penuh salah tingkah si Boy pun kembali masuk ke dalam menemui Lila.

”Dari siapa sih?” kata Lila iseng pura-pura bertanya.

Kontan aja, mendengar pertanyaan Lila itu Boy terlihat serba salah dan salah tingkah, ia galau dan gelisah dengan wajah penuh dusta. Mampus dah!

”Dari Jek,” jawabnya santai.

Elo gak tahu kalau gua sudah tahu semua kebohonganmu. Dasar bajingan kampung, kata Lila ngedumel dalam hati. Lila pun kemudian diam seolah-olah percaya aja dengan jawaban Boy barusan. Baginya yang penting tujuan untuk mengerjain Boy harus lebih penting.

Boy yang emang sudah galau dan gelisah merasakan suasana sudah tidak nyaman, padahal nuansa di rumah Lila lagi nyaman dan adem. Akhirnya Boy pun terasa nggak betah dan pulang lebih cepat diluar dugaan Lila.

Keesokan harinya, yang merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh Lila, Ivon dan Kania untuk menghabisi dan menghentikan pertualangan sang play boy, Boy. Cukup sampe disini Boy, kata mereka bertiga.

Hari ini merupakan giliran Kania janjian ketemu dengan Boy. Mereka berdua sepakat ketemuan di kafe tempat pertama kali mereka bertemu, tempat pertama kali Kania menjadi korban rayuan gombalannya Boy. Boy benar-benar nggak nyadar kalau semuanya ini sudah diatur. Boy pun nggak nyadar kalau ia sudah masuk dalam sebuah perangkap skenario besar dari korban-korbannya sendiri.

Lila dan Ivon terlihat sedikit gelisah dan sudah tidak sabar menunggu kehadiran Boy. Mereka memang sudah pada duluan hadir di tempat itu dan berada di tempat yang tidak bisa dilihat oleh Boy.

Tepat pukul 20.00 wib, akhirnya Boy yang ditunggu-tunggu pun tiba langsung menghampiri Kania. Kania pun lantas berdiri dari duduknya menyambut kedatangan Boy.

”Sudah lama nunggunya?’” tanya Boy kepada Kania.

Basa basi doang lo! Bisik Kania dalam hati. ”Nggak, barusan aja aku disini,” balas kania juga dengan basa basi.

Lebih kurang tiga puluh menit sudah, Boy dan Kania berada di kafe ini sambil menikmati makanan yang mereka pesan, namun tiba-tiba aja Hp Boy berbunyi lantaran dihubungi oleh Ivon.

”Halo, met malam, Von,” kata Boy kalem membuka pembicaraan sambil menjauh dari Kania.

”Ya, malem,” jawab Ivon. ”Elo lagi dimana sih?” lanjut Ivon iseng bertanya.

”Gua lagi di rumah,” jawab Boy spontan.

Benar-benar bangsat, lo! Udah basi, telat lo ngelesnya! Bisik Ivon dalam hati. ”Kesini dong, gua lagi bete nih,” rayu Ivon sambil mencuil lengan Lila.

”Gua lagi capek banget, lagi males mau keluar. Sorry ya!” kata Boy pede dengan kebohongannya.

”Ya udah kalau begitu, nggak papa,” balas Ivon.

Setelah kontaknya diputus, Ivon dan Lila pun nggak bisa menahan tawanya sambil menutup mulutnya dengan tangan agar tidak didengar oleh Boy.

”Rasain lo, sebentar lagi dengan pembalasan kita. Waktu untuk pembinasaan lo tinggal menghitung detik doang, Boy,” kata Ivon bicara pelan dengan Lila.

Lila dan Ivon sudah benar-benar nggak sabaran untuk menghabisi Boy. Nasib baik lagi nggak berpihak, hukum karma sepertinya segera berlaku buat Boy. Sementara Kania sudah gelisah menunggu kehadiran kedua temennya untuk beraksi menjalankan skenarionya. Mereka bertiga memang sudah nggak sabaran mengacak-acak mukanya Boy dan menyiramkan jus mengkudu busuk kesekujur tubuh Boy, yang memang sudah mereka persiapkan dari rumah.

Malam itu merupakan malam yang naas dan apes bagi Boy. Dia harus mempertanggujawabkan atas semua perbuatannya terhadap ketiga cewek ini. Skenario yang diatur oleh Lila berjalan mulus. Boy yang lagi asik, tiba-tiba aja menjadi kaget nggak karuan melihat kehadiran korban-korbannya, Lila dan Ivon tiba-tiba datang secara bersamaan. Boy hanya terpaku diam menunggu eksekusi. Tapi dasar play boy tengik, dia berusaha terlihat santai, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Padahal dalam hatinya berkecamuk nggak karuan dan jantungnya berdebar kencang. Mampus dah gua! Pikirnya.

”Dasar bajingan! Buaye lu! Jadi ini kerja lo selama ini?” kata Ivon berang banget.

Lila yang nggak bicara, nggak tinggal diam. Lila lalu dengan semangatnya menyiramkan jus mengkudu tadi ke tubuh Boy. Pyuuuuur basah. Duh! Bau banget. Mampus deh lo, Boy!

Kania dan Ivon pun terus mencaci maki Boy habis-habisan. Lila yang sudah geram banget, akhirnya nggak tahan juga menahan emosinya, lalu dengan spontan menggampar muka Boy. Plaaaaaak, Boy tidak mengelak dan hanya diam.

Boy yang seperti maling ketangkap basah nggak bisa berkutik dan hanya diam dan pasrah tanpa perlawanan apa-apa dengan perlakuan ketiga cewek tadi. Mau bicara pun sudah nggak sanggup lagi. Mau ngeles pun sudah nggak bisa lagi. Ia seperti orang yang sudah kehilangan akal. Ia malu banget karena belangnya selama ini sudah ketahuan.

Dengan peristiwa itu membuat semua tamu di kafe pun tertuju kepada mereka berempat dan membuat membuat pengunjung heboh dan tertawa sambil bertepuk tangan melihat seorang cowok yang sudah basah kuyup menjadi bulan-bulanan tiga orang cewek. Rasain deh, Boy!

”Cukup sudah pertualangan cinta lo sama kita, Boy,” kata Lila sambil berlalu meninggalkan Boy berdiri sendirian.

Lila, Ivon dan Kania akhirnya pergi meninggalkan Boy sendiri. Boy pun akhirnya dengan perasaan malu banget pulang meninggalkan kafe yang menjadi neraka buatnya malam itu. Mimpi apa gua semalam, bisik hatinya seperti nggak percaya dengan apa yang telah terjadi.

Selama diperjalanan, mereka bertiga melepas tawa sejadi-jadinya di dalam mobil sedan yang dikendarai oleh Lila. Mereka pun merasa puas setelah sukses mengerjai Boy.

Makanya Boy, jadi orang jangan sombong banget dengan kegantenganmu, sehingga membuatmu lupa akan daratan. Kalau elo masih nggak nyadar juga, maka tunggu aja sebuah hukum karma yang mungkin lebih besar dari malam ini akan menghampirimu lagi. Percaya deh! Tuhan Maha Pengampun, kembalilah ke jalan yang benar, Boy. Insyaallah.
TAMAT


Tak Ingat Tak Tahu


Rinduku selalu mengalirkan namamu
Namamu selalu detakkan jantungku
Sulit kubendung naluri itu
Selalu begitu, setiap waktu
Tapi, kau tak ingat dan tak tahu

Dan akhirnya akulah yang terpuruk dalam rasa itu
Rasa yang menggebu sejak dulu, dari masa lalu
Dan kau tak pernah ingat dan tak pernah tahu

Rasa dan asaku padamu terukir begitu jelas di tulang rusukku
Mengalir deras di aliran darahku
Memukul keras membuat lebih cepat detak jantungku
Sedikitpun, kau tak ingat dan tak tahu

Seperti menghitung jutaan bintang di malam hari
Seperti menghitung rinai hujan yang jatuh ke bumi
Seperti menghitung hamparan pasir di pantai ini
Sampai matipun kau tak kan pernah ingat dan tak kan pernah tahu
Bahwa disini ada satu hati yang menunggu, satu jiwa yang terbelenggu

~Rinduku Diujung Sepi~



Tetesan gerimis yang merinai,
dikelamnya langit senja.
Kulinangkan rindu diujung mata,
menari indahnya dipelupuk angan.

Raut bayanganmu nan manja,
menerpa ditiap sudut yang sepi.
Kulirihkan namamu didalam
kenang suaraku yang berharap.

Kasih lihatlah...
Lengkungan tujuh warna warni,
menghiasi langit usai hujan.
bagai bentang selendang mayang,
bertuliskan makna aksara rinduku.

Dan telah kucoba kirimkan pula,
bersama hembus bayu nan laju.
Berharap ia akan menepikan,
tentang rinduku yang terbata.

PUISI RINDU



Saat kata tak mampu terungkap langsung,
hati ini menjerit memanggilmu,
bagai pagi yang tak bertemu malam,
dinding hati ini roboh akan terpaan rinduku,
rindu padamu kekasih hati,
tak mungkin ku berlari terus,
mengejar bayangmu,

tak mungkin ku menjerit memanggil namamu,
ku selalu merindu,
duhai kekasih hati,
dengarlah pita hatiku,
datanglah pada pemilik hati ini,
meski jauh,
namun . . .
ku kan tetap menunggu,
sebagai tanda cinta,
tanda sayang,
dan . . .
setiaku padamu,
salam rindu kasihku . . .

Karya : Andri Setyawan

KERINDUAN

Adakah engkau disana sepertiku
Memasuki dunia hayalanku yang mencaci
Aku berhayal berduaan dengan mu
Dimana aku dapat tertawa bersamamu, menggenggam tanganmu

Wahai cintaku disana
Mengapa kau tak mengenaliku
Kau tak tahu apa yang ada di hatiku
Kau tak tahu jika aku memandingi wajah indahmu

Adakah engkau disana sepertiku
Yang tidak sadarkan diri akan cinta yang bersemi
Yang tak mampu mengucapkan kedalaman kerinduan
Saat berhadapan dengan mu

Aku yang terkurung di ruang cinta dan kerinduan ku
Tak dapat berucap padamu, bahkan walau telah menyentuhmu
Setiap menatap matamu terasa menusuk ke jantung hati ku
Engkau cintaku, cinta terpendamku
Engkau rinduku, rindu tak bertuanku.

Tuesday, September 3, 2013

Cewek Manis Penjual Jagung Bakar

Perkenalkan nama ku Chika. Siang ini seperti biasa aku akan berjualan jagung bakar manis di pinggir jalan raya. Tempat dimana aku mencari nafkah untuk keluarga ku. Iya maklumi saja, aku ini berasal dari keluarga yang bisa dikatakan sederhana. Ibuku seorang ibu rumah tangga sedangkan bapakku adalah seorang buruh. Uang untuk mencukupi keluarga memanglah tidak cukup. Jadi, akulah yang berinisiatif untuk membantu ekonomi keluargaku. Tapi, buatku membantu orang tua adalah kewajibanku sebagai anak. Dan aku pun tidak mau dikatakan anak durhaka karena hanya lenggang kangkung di rumah, sementara bapakku yang mencari nafkah sendirian.
Siang ini aku kedatangan banyak pelanggan yang ingin menikmati suasana di siang hari dengan jagung bakar manisku ini. Dengan banyak pilihan, mereka dapat merasakan nikmatnya dan lezatnya jagung bakar manis buatanku sendiri. Karena, hanya akulah yang membuat dan melayani pelangganku. Dan pada saat aku sedang membuat pesanan pelangganku, aku kedatangan satu pelanggan baru yang baru pertama kali aku lihat. Dia seorang cowok yang perfect menurutku. Bodynya bagus, kulitnya putih bersih, bahkan kalau dilihat-lihat dia seorang pengusaha, karena dia keluar dari sebuah mobil yang mahal entah berapa harganya. Itu sih menurutku. Aku pun tercengang melihat pelangganku ini. Hingga…
“mba, pesanan saya sudah jadi belum?” tanya salah satu pelanggan
“ya bu, ini saya lagi buatkan. Sebentar lagi matang kok bu” kataku dengan sigap menyelesaikan pesanan
Tetap dengan menatap si cowok, aku tetap membuat jagung bakar manis pesanan pelangganku. Dan tiba-tiba dia datang menghampiri tempatku berjualan. Entah ingin membeli atau untuk berkenalan padaku.
“ge-er banget aku. Mana mungkin dia mau sama aku. Cewek yang hanya menjual jagung bakar manis” kataku dengan nada menggerutu
Setelah aku selesai membuat jagung bakar manis pelangganku, dia pun menghampiri ku lebih dekat.
“mba, jualan jagung bakar manis ya” katanya dengan ucapan yang sok
“iya, kenapa?” jawabku dengan sopan. Karena bagiku, bagaimana pun sikap pelanggan ku, aku harus sopan dengannya.
“ada rasa apa saja?” tanyanya lagi
“banyak, mas maunya rasa apa?” tanyaku kembali
“emang saya terlihat seperti mas-mas ya. Kok manggil saya mas?” sambil membuka kacamata hitam yang dia pakai.
Aku pun hanya tersenyum mendengar ucapannya. Dan sesekali aku melihat ke arah dia yang sedang melihat menu rasa yang ada di kaca gerobakku.
Sambil dia melihat-lihat, sambil dia menerima telepon. Entah dari siapa dia menerima telepon, tapi terlihat serius, mungkin dari pacarnya. Terasa lama sekali dia melihat-lihat menu jagung bakarku, tapi tidak ada tanda-tanda dia ingin membeli.
Aku melanjutkan membuat pesanan para pelangganku yang sudah siap menanti kehadiran jagung bakar manisku. Dah akhirnya dia memesan, meskipun hanya 1 tapi aku tidak merasa kecewa.
“mba, jagung bakar pedas manisnya 1 ya. Tapi, kan katanya jagung bakar manis, kok ada yang pedas. Ini sih bukan jagung bakar manis namanya, tapi jagung bakar variasi manis dan rasa pedas” katanya yang sedikit menyinggung hati
“loh, mas mau pesan atau mau mengritik dagangan saya?” jawabku yang kesal
Dia pun terdiam dan hanya melihatku membuat jagung bakar pesanannya. Setelah selesai, dia pun membayar dan kembali masuk ke mobil dan pergi dari tempatku.
Hari sudah menjelang sore. Daganganku habis terjual dan aku langsung membereskan untuk kembali ke rumah.
Sesampainya di rumah…
“kenapa nak? ko wajahmu seperti orang habis berantem saja?” tanya ibuku sembari membantuku membawa dagangan ku
“itu loh bu, tadi ada cowok yang beli, tapi dia mengritik daganganku” jawabku dengan kesal
“mengritik gimana toh ndo?” tanya ibu kembali
Sudah terlanjur basah, akhirnya aku menceritakan kejadian yang tadi membuatku merasa sakit hati dengan kata-kata pelangganku. Setelah aku menceritakan, aku langsung masuk dan menuju kamarku. Di dalam kamar aku menggerutu akan sikap cowok tadi. Aku berharap esok hari tidak bertemu dengannya lagi.
Keesokan Harinya
Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi. Waktunya aku untuk berjualan lagi. Sambil menuju tempatku berjualan, aku menawarkan jagung manis yang masih mentah kepada tetanggaku. Itung-itung bisa dapat lebih dari jualanku hari ini. Ketika aku akan tiba di tempatku berjualan, dari kejauhan aku lihat ada mobil mewah yang sedang parkir di halaman tempatku berjualan. Aku lihat dari jauh, aku seperti mengenali mobil mewah ini. Dan aku pun teringat oleh cowok songong yang kemarin mengritik daganganku. Semakin ku dekati dan semakin aku yakin dengan mobil ini. Dan ternyata benar saja, ini mobil si cowok songong.
Aku mendekati tempatku berjualan tanpa aku hiraukan kedatangan si cowok songong yang lebih dulu sampai. Dengan sikap cuek, aku bergegas membereskan daganganku. Dia yang duduk santai hanya melihat sikapku yang kemarin terlihat sopan tiba-tiba jadi cuek.
10 menit berlalu, tetap dengan sikap cuekku dan sikap santainya dia. Hingga akhirnya dia memulai untuk berbicara.
“mba, saya mau pesan 2 jagung bakar manisnya. Tapi, saya enggak mau yang pedas, nanti jadi jagung bakar manis pedas” katanya dengan senyum mengeledek
Aku tetap diam tanpa menghiraukan ucapannya. Tapi, yang membuat aku terheran-heran, dia hanya tetap diam duduk manis tanpa menyuruhku mempercepat membuatkan pesanannya. Biasanya pelangganku yang lain selalu menyuruhku mempercepat untuk menyajikan pesanannya. Setelah selesai aku merapikan semua yang akan ku persiapkan, baru aku mulai membuatkan 2 jagung bakar manis dan bukan jagung bakar manis pedas. Cukup lama waktu yang aku butuhkan untuk memenuhi keinginan si cowok songong itu. Akhrinya pesanan yang dia minta sudah selesai ku buat. Setelah selesai aku memberikannya kepada si cowok songong itu.
“nih, 2 jagung bakar manisnya sudah jadi. 2 jagung bakar manis jadinya 20.000″ kataku singkat
“ahh, baru 20.000 belum dagangannya saya beli” tetap dengan kata-kata sok
Aku pun merasa terhina oleh ucapannya. Lalu…
“ya sudah sini bayar, bayar aja lama banget” kataku mempercepat
“sabar dong mba yang manis kayak jagung bakar manisnya, ini juga lagi diambil. Berapa tadi semuanya” katanya mengulang genit
“20.000!!!” kataku marah
“ihh, biasa aja kali mba, enggak usah sewot gitu, enggak sabar ya mau terima uang dari saya” senyum-senyum
Aku sejenak menggerutu di hati
“iya emang gue mau cepat-cepat terima uang dari lu, biar lu tuh cepet pergi dari hadapan gue”
Aku yang masih bengong menggerutu dengan menatap si cowok songong pun tersadar setelah si cowok songong ini menyadarkanku yang sedari tadi bengong sambil menatapnya.
“mba, bengong aja, kenapa saya ganteng ya sampai segitunya ngeliatinnya” katanya pede
“pede banget lu kalau ngomong. Omongan lu segede bom” kataku kesal
“masa sih mba, bilang aja mba suka kan sama saya, kalau mba enggak suka kenapa ngeliatnya lama banget” tersenyum kepedean
“dah sini uangnya, terus lu pergi dah dari sini” kataku sambil mengambil uang yang kebetulan pas dengan harga 2 jagung bakar manis
Dia pun segera pergi meninggalkan tempat ku. Sedikit kecewa dengan sikap ku sendiri kepada pelanggan ku, tapi itu salah dia sendiri yang segitu pedenya bilang kalau dia itu ganteng.
“memang sih ganteng, tapi nyebelin. Kalau dia jadi cowok gue, dah gue unyeng-unyeng tuh cowok. Kesel banget gue sama tuh cowok. Mentang-mentang tajir, ganteng bisa seenaknya mengritik dagangan gue, ganteng sih ganteng tapi pedenya gede banget. Huh. Untung cuma 1 cowok yang kayak gitu, coba kalau 10 cowok kayak gitu, mabok kepayang gue” gerutuku
Hari semakin siang dan semakin banyak pelanggan ku yang datang. Ada yang habis keluar kantor, ada yang baru pulang sekolah dan ada juga yang lagi istirahat karena sudah waktunya untuk istirahat. Setiap kali aku melihat para karyawan yang berada di sini, aku selalu membayangkan bagaimana rasanya kerja di tempat yang gedungnya gede, ber-ac, terus nyaman dan satu lagi, enggak panas-panasan kayak begini. Selalu saja aku berangan-angan bisa kerja seperti mereka. Tapi, terkadang aku pesimis dengan keadaan ku sekarang yang tidak mungkin aku bisa kerja seperti mereka dengan gaji yang lebih dari cukup untuk membantu perekonomian keluarga ku.
Waktu menunjukkan pukul 16.00, waktunya untukku pulang. Dan lagi lagi, si cowok songong itu datang lagi ke tempat ku. Namun aku tetap cuek sambil membereskan dagangan ku untuk ku bawa pulang kembali. Semakin dekat dia menghampiriku semakin aku percepat membereskannya. Dan setelah aku benar-benar siap untuk pulang…
“loh kok udah mau tutup aja. Kemarin kan jam segini belum pulang” tanyanya
“suka-suka gue mau pulang jam berapa, lagian siapa suruh lu dateng jam segini” kataku jutek
“weits, biasa aja dong mba. Enggak usah pake nada emosi yang TERLALU itu kata bang haji Roma Irama. Hahahaha” tertawanya pada ku
“wah, ketauan lu, suka dangdut juga lu, gue pikir lu kagak suka dangdut” jawabku kembali
“hey! Jangan salah, meskipun luarnya MACHO tapi dalamnya CUCO” katanya
“hahahaha… bisa aja lo ngong” kataku
“ngong? lu kata gue kucing kali ngeong” dia pun tertawa
Tak terasa kami bergurau. Tak sadar diri pula kalau aku sedang marah. Aku pun merasa malu lagi karena aku bercanda gurau dengan musuh bebuyutan ku.
“set dah, malu amat ni gue. Gengsi aja gue kayak lagu Syahrini – cinta tapi gengsi, tapi gue mah kagak pake cintanya cuma gengsinya aja. Duh, gimana ni nasib gengsi gue, kalau ketauan tambah malu lagi aja gue, mana ni cowok masih ada di depan gue” gerutuku karena aku baru sadar, kalau dari tadi aku bercanda gurau dengannya.
Dan tiba-tiba…
“oya mba, kita kan sudah lama kenal, kita kan belum kenalan tuh, gimana kalau kita kenalan dulu” katanya menawarkan jasa perkenalan
Sejenak aku terdiam memikirkan jawabannya.
“Kalau bilang “iya” tar dikira niat kenalan tapi kalau enggak rugi juga karena enggak tau namanya”
“mba, gimana mau enggak? kok diem aja sih” ucapnya mengagetkan
“eh ya kenapa?” tanya ku
“jeh sih mba ditanya malah bengong aja. Gue mah enggak usah dipikirin, tar malah sakit loh” jawabnya senyum
Tapi aku hanya terdiam tanpa menjawab sepatah kata pun. Sempat aku melirik ke arahnya dan yang aku lihat dia sedang menanti jawabanku dengan wajah penasaran. Aku pun lalu pergi meninggalkan dia yang masih menanti. Sempat dia menghentikan jalan ku, namun, aku tetap meneruskan langkah ku.
Tepat di tengah jalan, dia menghampiri ku. Masih dengan rasa penasaran, dia pun keluar dari mobil dan menghentikan langkah ku.
“mba, stop” katanya sembari menarik tangan kanan ku
“ihh, apaan sih lu, narik-narik tangan gue, lu kata tangan gue tali kali ditarik” kataku sambil melepas tangan ku
“ya maaf deh. Tapi kan gue mau kenalan sama lu, masa gitu aja enggak boleh sih. Gue bela-belain nih ngikutin lu pergi. Masa lu tega banget sama gue” katanya meminta maaf sembari berlutut untuk ku beri maaf dan menjawab pertanyaannya tadi
“ye udeh, bangun lu kagak enak dilihat sama orang, tar dikira lu abis gue putusin lagi, cepet bangun” kataku membantu dia bangun dari kaki ku. Aku sebenarnya tak ingin memberi tahu siapa namaku, tapi, karena dia memaksa jadi terpaksa aku menerima tawarannya
“nama gue…” kataku singkat
“nama lu siapa?” tanyanya penasaran
“nama gue… C H I K A” jawabku mengeja
“CHIKA… chika gitu maksud lu. Masa jawab gitu aja pake dieja. Huh” jawabnya sedikit kecewa dengan jawaban ku tadi
“masih bagus gue jawab, daripada enggak” jawabku
“kalau enggak dijawab, gue terjun dari langit, biar lu bisa jawab pertanyaan gue” katanya menghibur
“ahh, mana bisa lu terjun dari langit, jadi astronom aja belum tentu bisa lu, paling-paling lu terjun dari mobil doang. Ya sudah, gue mau pulang tar kesorean emak bapak gue nyariin lagi. Dah sana lu pergi dah, kan lu sudah tau siapa nama gue” kataku menghindari dirinya
“mau gue anterin enggak? kan lumayan irit tenaga” menawarkan jaa tumpangan
“enggak usah. Gue bisa pulang sendiri” jawabku sembari berjalan
Aku pun tetap berjalan untuk menghidari si cowok. Sambil ku berjalan, aku menengok ke belakang apakah dia masih menunggu ataukah dia sudah pulang. Dan ternyata dia masih menunggu. Aku pun semakin mempercepat langkah ku agar dia tidak mengikutiku.
Malam pun tiba. Aku yang merasa bosan di rumah, memutuskan untuk keluar rumah, mencari angin agar ku tidak merasa bosan lagi. Namun, lagi dan lagi, aku melihat si cowok songong itu lagi. Dia bersender di muka mobilnya. Aku lihat dari jauh, kelihatnnya dia sedang patah hati. Mungkin. Inginku menghampiri tapi aku gengsi banget. Tapi, aku penasaran dengan keadaannya. Dengan nekat akupun menghampiri si cowok.
“woy, bengong aja lu. Napa lu di sini sendirian, pake pasang muka galau lagi. Wah, abis putus cinte lu ya? masa macho-macho galau, jelek banget jadinya” kataku menghibur dirinya yang memang terlihat sekali galaunya. Aku pun terus menghibur dirinya agar aku bisa tahu apa yang sedang terjadi. Dan dia pun luluh dengan hiburan yang sederhana tapi bisa membuatnya tersenyum.
“gue bukan galau karena patah hati, tapi…” jawabnya setengah sambil merundukkan kepala.
“tapi apa? emang lu punya masalah apa? kok sampai lu keliatan ruwet amat masalah lu” ucapku
“gimana ya, gue bingung harus mulai dari mana, soalnya memang ruwet banget masalah gue. Mungkin kalau lu jadi gue, lu enggak akan sanggup untuk hidup lagi dan bawaannya cuma mau pergi yang jauh aja biar gue enggak punya masalah kayak gini. Berat banget, enggak tahu deh kalau ditimbang jadi berapa kilo” curhatnya padaku yang sedikit menggelitik hati
“ya sudah, lu cerita aja sama gue, siapa tahu gue bisa bantu lu. Kan kita teman” aku acungkan jari kelingkingku agar dia ikut memberi jari kelingkingnya. Dan kami pun saling mengaitkan jari kelingking yang memberi tanda kalau kami sudah aku dan tidak ada kata ribut-ributan kayak yang sudah-sudah
Dia pun mulai menceritakan dengan detail tentang masalah yang sedang dia hadapi. Aku dengan setia mendengarkan ceritanya sesekali aku memberi jawaban yang mungkin bisa membuatnya sedikit lega. Tak terasa 1 jam sudah kami saling curhat-jawab. Aku pun memutuskan untuk pulang, karena taku emak bapakku mencariku yang sudah jam segini belum pulang juga.
“sudah malam, gue pulang dulu ye, takut enak bapak gue nyariin, tar malah brabe lagi” pamitku padanya. Namun, dia kembali menawrkan jasa tumpangannya padaku. Entah karena memang sudah malam takut terjadi sesuatu hal yang tak ku inginkan atau karena aku sudah membuatnya merasa tanpa beban lagi.
“gue anterin pulang ya. Gue enggak mau lu pulang sendirian. Lagian ini sudah malam juga. Ijinkan diriku mengantarkanmu pulang wahai Chika” katanya sambil berlutut bak pangeran yang ingin mencium tangan sang putri.
Aku hanya terdiam dan tersenyum melihat cara dia menawarkan jasa tumpangannya. Lucu menurutku, karena sebelumnya belum ada 1 orang laki-laki yang meninta jasa seperti cowok ini. Di dalam mobil kami berbincang-bincang lagi, tapi dengan topik yang berbeda. Sedikit menyinggung ke masalah percintaan.
“oya, waktu itu kan lu sudah kasih tahu nama lu, sekarang gantian gue yang kasih tahu nama gue. Nama gue Reza, tapi biasa dipanggil Eza. Ya mungkin biar lebih singkat aja” katanya sembari menyetir mobil yang ia bawa
“oya, ngomong-ngomong lu sudah punya cowok belum? ntar ada yang marah lagi kalau liat lu dianterin sama gue, cowok yang gantengnya enggak ada habisnya. Hehehe” jawabnya pede
“pede banget. Gue heran sama lu, pede lu enggak ada habisnya. Gue belum punya cowok, lagian mana ada sih cowok yang mau sama gue, CEWEK PENJUAL JAGUNG BAKAR MANIS yang enggak punya apa-apa, apalagi masalah ekonomi, jauh dari cewek-cewek yang lain” jawabku jujur. Aku sengaja jawab dengan jujur, agar aku tahu bagaimana reaksi dia dengan keadaanku, dan ternyata dia beda dengan cowok-cowok sebelumnya. Dia tidak begitu memperdulikan bibit, bebet dan bobot diriku
“ahh, masa sih enggak ada yang suka sama lu. Meskipun lu cuma penjual jagung bakar manis, tapi kan orangnya lebih manis daripada jagung bakarnya. Gue sih enggak mikirin banget soal orang yang ada didekat gue, asal gue nyaman, senang enggak masalah buat gue. Lagian gue aja malu sama diri gue sendiri, gue cuma bisa menghabiskan uang ortu gue tanpa gue tahu bagaimana susahnya mencari uang. Gue aja pas liat lu, gue sempet mikir, lu aja yang cewek bisa usaha tanpa lu ngeluh, tapi gue enggak bisa” curhatnya lagi sambil tetap menyetir mobil yang sedang menuju perjalanan ke rumahku
Setelah menempuh perjalanan yang cukup membuatku mengantuk aku pun tiba di rumah. Rumah yang sederhana dengan design yang kuno. Aku dan Eza turun dari mobil. Tiba-tiba Eza mengucapkan sepatah kata yang membuatku tercengang tidak percaya, bagaikan mimpi dalam tidur.
“chik, gue boleh ngomong sesuatu enggak sama lu” katanya sambil memegang kedua telapak tangan ku
“ngomong apa? tapi jangan di sini, di teras rumah gue aja mau enggak. Tapi enggak gede tempatnya. Ya, cukuplah buat duduk-duduk mah” menunjuk tempat yang ku katakan. Kami pun menuju teras rumahku. Duduk berhadap-hadapan kayak di sinetron-sinetron gitu. Dia kembali memegang kedua telapak tanganku.
“gue… gue…” terbata-bata, mungkin malu untuk mengutarakannya
“gue apa dan kenapa” jawabku penasaran
“gue… gue suka sama lu” jawabnya lagi, namun dipercepat
“ngomong apa sih lu ngong?” tanya ku pura-pura tidak dengar jelas apa yang dia katakan
“gue suka sama lu Chika manis” senyum-senyum menjelaskan kembali isi hati yang telah lama dia pendam
“hah? lu enggak ngigau kan?” tepuk-tepuk pipi Eza
“enggak Chika sayang. Gue beneran suka sama lu. Dari awal gue liat lu, gue sudah mulai suka sama lu. Lu sudah buat gue lebih menghargai jerih payah ortu gue. Lu juga yang sudah buat gue lebih bahagia tanpa memikirkan masalah yang melanda hidup gue. Lu mau kan jadi pacar gue, kalau boleh jadi istri gue” katanya meyakinkanku
Aku berdiri menuju mobilnya dan bersenderan. Aku memikirkan jawaban apa yang pantas untuknya, karena sejujurnya aku dan dia sangat jauh berbeda. Dia berasal dari keluarga yang sukses sedangkan aku tidak. Aku juga takut ini hanya akal-akalan dia untuk menyakitiku. Namun, dari tatapan matanya dia tidak sejelek yang aku pikir. Sementara aku terdiam, dia datang menghampiriku dan kembali meminta jawabanku.
“Chik, gue tau apa yang lu pikirin. Lu takut kan kalau gue cuma maenin lu, tenang aja Chik, gue serius sama lu, kalau perlu malam ini juga lu gue bawa ke rumah gue biar lu bisa kenal langsung sama ortu gue” bertekuk lutut meyakinkan hatiku
“enggak usah, gue percaya kok sama lu. Tapi, apa lu bisa terima keadaan gue dan keluarga gue yang jauh berbeda sama lu?” menyruruh dia bangun karena aku tidak mau dia seperti ini lagi
“iya Chik, hati gue sudah mantap sama lu. Apa pun keadaan lu dan keluarga lu gue enggak perduli, yang penting lu bisa jadi milik gue. Jawab Chik pertanyaan gue, lu mau enggak jadi pacar dan jadi istri gue?” penasaran menanti jawabanku ini
“iya gue mau jadi pacar lu, tapi kalau jadi istri gue belum tau. Kita jalanin aja dulu, kalau jodoh ya terusin kalau enggak jangan kecewa” jawabku yang membuatnya bahagia dan merasa lebih sempurna hidup ini
Aku pun larut dalam pelukan hangat yang membuatku tidak ingin melepaskannya. Kami pun menjalani hidup dengan cinta dan kasih sayang. Dan setiap harinya dia ikut membantuku berjualan. Aku juga merasa sempurna dalam menjalani hari-hariku yang awalnya sepi tanpa kekasih dan sekarang dengan kekasih yang selalu ada untukku.
The End
Cerpen Karangan: Putri Setiowati
Facebook: Puputchubby Buletsbuletz Ajjah

masih amatir

Siang itu aku berjalan dengan santai menuju ruang guru untuk melaksanakan tugas yang telah diamanahkan kepadaku, tak terbebani sama sekali aku ini namun mata-mata yang curiga dan sok tau itu menilai dengan salah, saya memang agak terkesan loyo, lemah, dan putus asa namun itu hanyalah penampilan yang dilihat secara langsung tanpa adanya perhatian yang lebih khusus.
Sesuai dengan kebiasaan sehari-harinya akupun melaksanakan kegiatan yang aku asumsikan sebagai kegiatan selain belajar yang bermanfaat di institusi ini, yah membaca mungkin bagi sebagian orang membaca itu sama saja denagan belajar namun itu sangatlah berbeda. Ketika kita belajar yang kita pelajari hanyalah mengenai masalah yang telah dicantumkan di kurikulum guru tidaklah boleh melewati batasan yang telah ditetapkan itu. Di kalangan guru aku memang tidak populer dan tidak ramah namun dengan pengurus perpustakaan merekalah yang melempar senyum dan kuberi balasan.
Seperti biasanya saya mencari buku yang sedang ingin saya baca atau melihat apa asa yang menarik atau tidak. Buku yang kucari tak kunjung menampakkan dirinya dan pada akhirnya ku temukan buku terebut namun sayangnya sedang dibaca. Ke menatap wanita tersebut dan mungkin karena tak merasa enak dia melihatku dan berkata “ada apa melihat saya dengan begitu?”. “oh tidak, saya hanya melihat buku itu” jawabku. “oh yang ini, buku ini cukup bagus” tanggapnya. Setelah itu kami mengulas buku tersebut, aku memang sudah membaca namun belum selesai. Bel istirahat berakhir pun menyapa telinga kami yang mengingatkan pertemuan ini berakhir.
Setelah sampai di rumah aku pun mulai berpikir dan selalu mebayangkan wanita tersebut yang namanya adalah Yani. Besoknya di sekolah aku tak pernah melihat wanita ini lagi. Tak lama kemudian ketika di rumah hal yang tak terduga terjadi nada pesan handphoneku pun berbunyi dan ternyata itu adalah dia, aku pun mulai berkomunikasi dengan baik dengannya awalanya kamu hanya membahas topik yang umum hingga kemudian kami membahasa masalah pribadi dan tak terduga aku pun mulai memiliki perasaan kepadanya.
Dunia memang bekerja dengan caranya yang benar-benar rahasia, terkadang kita tak menyadari apa yang telah dia perbuat kepada umat manusia dan apa yang umat manusia lakukan kepadanya. Hari berlalu, minggu berlalu, dan hampir sebulan sudah aku berkomunikasi dengannya dan jiwaku seakan hanya ingin diberikan makan oleh suaranya.
Malam itu aku pun memutuskan untuk menyatakan perasaan ku yang sebenarnya memang ini masih jarang ku lakukan dan mungkin itu pula alasannya aku gagal dia hanya mengatakan agar tetap berusaha siapa tau saja perasaannya muncul. Ketika sedang membahas suatu pembahasan dia tiba-tiba membahas orang lain yang merupakan teman dekatnya yang bernama Rani dan dia mengatakan perasaan sebenarnya mengenai temannya itu. “sebenarnya Rani itu munafik dia merebut gebetan temannya meski tau temannya sangat menyukai si Rudi, aku sih mau aja ngasih tau si Rudi gimana sih si Rani itu tapi biarin aja deh nanti kebaikan akan muncul” itulah yang dia sampaikan kepadaku, Rudi merupakan siswa lain yang keren, kaya, dan baik. Akupun meladeni dengan membahas temannya tersebut, sebenarnya bukan membahas namun menceritakan aib si Rani.
Bulan berikutnya aku pun mulai berpikir bahwa Yani ini tidaklah pantas untukku dan tidak ada wanita yang pantas untukku dan aku pun memutusakan untuk jaga jarak dan mulai melupakannya. Pemikiranku bukannya tidak beralasan namun terkadang ketika berbincang dengannya dia masih merasa aku ini orang asing dan sedikit menutup masalah pribadinya dariku dan hanya membahas masalah sosial dan pelajaran di sekolah.
Hampir dua minggu aku tak memberikan untaian sapa yang hangat dan perasaanku seakan membunuhku karena aku menjauhinya dengan alasannya yang merupakan asumsi pribadiku sendiri saja. Pekan Olahraga dan Seni di sekolahku dimulai, ketika itu aku mendukung teman sekolahku yang sedang tanding futsal dan Yani dan temannya Rika duduk di sisi lapangan yang satunya dengan bercanda gurau. Sesekali aku menatapnya dan ketika aku menatapnya dia juga menatapku. Sesampainya di rumah pesan singkat mampir di telpon genggamku dan kucoba mengecek dan ternyata itu adalah Yani. Hubungan kami pun kembali seperti dulu dan malah agak semakin dekat, aku juga menyempatkan waktu untuk menonton pementasan dramanya, rencananya aku ingin mengantarnya pulang namun dia menghilang. Aku pun menuju rumah dan menelponnya, aku pun bertanya dimana dia dan sama siapa pulang dan mengatakan dia sudah pulang dengan temannya, ketika aku mengatakan “tadi rencananya aku mau nganterin kamu pulang tapi kamu menghilang” dia tidak memberikan respon apapun dan disinilah mulai dugaanku yang sebenarnya bermulai namun masih ku kesampingkan karena cinta itu memang telah membutakan manusia yang satu ini. Dulunya aku dan dia hanya sekedar berkirim pesan singkat dan terjadi peningkatan intensitas komunikasi di antara kami, kau sudah telpon-menelpon dan hubungan kami telah seperti pacaran karena hampir seharian kami telpon menelpon.
Hari itu merupakan dua hari terakhir tahun 2012 dan aku terus menghubunginya namun telponnya tidak diangkat dan pesanku tidak dibalas padahal besoknnya merupakan hari ulang tahunnya. Akupun takut terus menelponnya karena nanti menganggunya. Pamanku dan sepupuku pun menawari tahun baru di rumah pamanku dan aku pun setuju untuk ikut, meski bergitu aku masih terus menghubunginya karena perasaanku yang sedang tidak enak dan penasaran dengan keadaanya dan plus hari tersebut merupakan hari ulang tahunnya. Aku pun mengikuti firasatku yang mengatakan dia sudah tidak ingin dekat denganku pun ingin kubuktikan dengan mengirim pesan kepadanya dengan menggunakan nomor telpon sepupuku, meski hanya pesan yang sangat singkat dan tidak berguna dan dari orang yang tidak dikenal ternyata dia balas, perasaanku pun hancur ketika itu juga, namun aku menyembunyikan ekspresiku karena nanti akan berakibat buruk di depan pamanku dan keluarganya serta sepupuku.
Sesampainya dirumah pamanku setelah merayakan tahun baru diluar aku mencoba menghubunginya dengan nomor telponku sendiri dan ketika dia mengangkatnya aku pun hanya mengatakan “kamu tadi lagi bikin apa? Kok gak ada info?”. “Maaf aku lagi sibuk sekarang baru available” balasnya. “oh kalau gitu udah dulu” aku menjawab dengan nada rendah. Aku menjelaskan yang telah aku lakukan, dan selidiki dengan pesan kepadanya dan dia pun ternyata membalas dengan mengatakan selama ini aku sudah berusaha dan ternyata perasaanku tetap sama. “Muke gile, dia kira gue goblok apa? Gua ini introvert gue ngerti lagi yang loe maksud, gue gak naif meski gak berpengalaman di urusan percintaan, mana mungkin loe ngasih jawaban seperti itu secepat itu, pasti ada yang udah terjadi” itulah yang kukatkan dalam hatiku.
Seminggu liburanku terasa sakit luar biasa yang diakibatkan cinta ternyata hal seperti itu juga melandaku setelah aku memutuskan melupakan dia pernah menjejakkan kakinya di hatiku, alasan utamanya mengatakan hal tersebut ketika tahun baru pun baru kuketahui sebulan kemudian ketika aku menstalk twitternya, dia mengatakan dan meretweet dengan tegas twit yang terbaca “Kalo gebetan sudah sebulan gak jadi pacaran berarti Cuma dijadikan pelarian” meski sakit namun terasa segar karena telah jelas aku ini telah menjadi korban apa. Beberapa minggu kemudian dia telah terdengar dan terlihat telah berpacaran dengan Rudi.
Betapa luar biasanya kisah ini, aku dijadikan pelarian dari seorang wanita yang sedang menunggu pria yang disukainya yang sedang pacaran dengan temannya, dan tahun baruku juga ikut hancur. Masih ada satu hal yang membuatku penasaran yakni mengapa aku yang dia pilih menjadi korbannya? Dan itupun terjawab beberapa hari kemudian, aku mengingat ketika dia mengingatkanku dengan temannya yang aku permainkan ketika masih SMP karena dia juga merupakan siswa yang dari SMP yang sama denganku, mungkin itu pertanda niatnya yang sebenarnya namun waktu SMP aku masih sangat bodoh jadi tak dapat mengerti perasaan orang lain. Aku pun merasa ini sudah adil dan ini adalah hukuman namun hukumannya benar-benar parah.
Skenario yang luar biasa Yani dan aktingmu luar biasa..
Cerpen Karangan: Mr. Xblues
Blog: Beragamtulisan.blogspot.com

cinta kedua

Tit.. tit… Ponselku berbunyi. Ada pesan baru dari seseorang. Setelah ku lihat siapa pengirimnya, aku tidak berminat lagi membacanya. Pesan itu dari Yuna, orang yang sangat mengganggu hari-hariku. Aku bingung, dia itu bodoh atau polos atau apa. Walaupun ku acuhkan ribuan kali, dia tetap saja mencari perhatianku. Yuna, jangan menggangguku lagi. Hubungan kita benar-benar sudah berakhir.
Mataku tertuju pada selembar kertas di sela-sela bukuku. Pasti dari Yuna. Aku pun penasaran. Aku ingin membaca surat itu.
Andri,
Pernahkah kamu mencintaiku? Tak bisakah kita kembali seperti dulu? Tak bisakah kita bersama lagi?
Yuna,
Singkat sekali, pikirku. Itu bukan surat tapi coretan tangan. Apa-apaan lagi dia. Aku benar-benar kesal dengannya. Aku tidak suka diganggu seperti ini. Sekali tidak, ya tidak. Kenapa aku bertemu gadis menyebalkan seperti dia?
Tapi, aku memang pernah mencintainya. Aku pernah dibuat bahagia oleh dirinya. Banyak kenangan indah di antara aku dan dia. Walaupun begitu, semua itu bukanlah alasan untuk bersama dia lagi.
“Yuna, ku pikir lebih baik kita akhiri saja semuanya disini. Ini bukan salah kamu ataupun aku. Sepertinya kita sudah tidak memiliki prinsip dan tujuan yang sama.” Aku berusaha untuk tidak menangis. Sebenarnya aku masih mencintainya, tapi aku mencintai gadis lain sekarang. Aku tidak mau menyakitinya lebih dalam lagi. Jadi, ku pikir lebih baik jika aku memutuskan hubungan ini.
“Andri, kamu gak bercanda, kan? Apa salahku? Aku sangat mencintaimu. Tapi, kenapa kamu lakukan hal ini padaku? Sudahlah. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Kalau ini keputusanmu, terserah kamu. Aku pergi.” Dengan berurai air mata, Yuna meninggalkanku disini. Ada sekelumit kesedihan di hatiku ketika melihatnya menangis. Maafkan aku, Yuna. Aku hanya tidak ingin menyakitimu lagi. Cukup sampai disini semua luka yang ku goreskan untukmu.
Aku mengingat kembali saat itu. Sudah enam bulan berlalu. Bagaimana keadaan Yuna sekarang? Terbersit keinginan di hatiku untuk menanyakan kabarnya. Tapi, hal itu akan menambah penyesalan di hatiku. Walaupun saat ini aku mengacuhkan dia. Tak bisa ku pungkiri, di lubuk hatiku aku menyesal sudah melepaskan dia dari hidupku.
Setelah Yuna pergi, aku bersama dengan gadis itu. Aku mulai melupakan Yuna. Laura, nama gadis itu. Dia begitu berbeda dengan Yuna. Untuk sesaat, aku bisa melupakan Yuna. Tapi, hanya sesaat. Aku kecewa, aku di khianati oleh Laura. Hingga saat ini, aku pun sendiri.
Aku merebahkan tubuhku di ranjang. Ternyata, hidupku sangat pelik. Aku merindukan seseorang di sampingku. Ada ruang kosong di hati ini. Seseorang yang sangat mengerti aku. Apakah aku merindukan Yuna? Tidak mungkin. Dia sangat mengganggu hidupku. Dia tidak pernah mengerti apa yang aku mau. Tuhan, jangan biarkan aku sendirian disini. Kirimkanlah seseorang untuk menemani hari-hariku.
Aku menghampiri ibuku di meja makan. Aku sangat lapar pagi ini. Akibatnya aku makan dengan tergesa-gesa. Beberapa kali aku tersedak. Aduh, pagi-pagi sudah kena sial. Bagaimana nanti di sekolah? Apakah akan terjadi hal buruk nanti?
“Andri, makannya pelan-pelan sayang. Nanti kamu tersedak lagi. Ini, minum dulu!” Ibuku mengulurkan segelas air untukku. Dengan cepat, ku habiskan semuanya.
“Sayang, kemarin mama ketemu Yuna. Dia baik banget sama mama. Dia nanyain tentang kamu sama mama.” Ya ampun. Gadis itu begitu menyebalkan. Apa yang dia mau? Pasti dia ingin cari perhatian dengan ibuku. “Kamu kenapa, sayang? Mama bingung, kenapa kalian berpisah? Padahal dia gadis yang baik dan sopan.” Ibuku mulai menginterogasiku. Ini bukan waktu yang tepat.
“Mama, bukannya begitu. Andri tidak mencintainya lagi. Apakah itu sudah cukup untuk dijadikan sebuah alasan?” Aku menerangkan alasan yang sebenarnya pada ibuku. Seharusnya aku juga mengatakan hal ini kepada Yuna, supaya dia tidak menggangguku lagi. Tapi, aku tidak sanggup mengatakan hal itu kepadanya.
“Astaga. Andri, kamu itu kenapa? Hal itu bukan alasan bagimu untuk berpisah sama dia. Dangkal sekali cintamu kepadanya. Mama gak nyangka.” Apa lagi ini? Kenapa ibuku yang marah?
“Mama kenapa? Kenapa mama yang marah sama aku? Mau gimana lagi? Haruskah Andri membohongi perasaan Andri sendiri?” Aku mulai menampakkan egoku. Aku tidak terlalu suka jika ibuku ikut campur masalah pribadi seperti ini.
“Mama gak marah. Mama hanya terkejut saja. Sejujurnya mama sangat menyukai dia. Dia gadis yang baik, manis dan juga sopan. Dia memperlakukan mama dengan baik, seperti ibunya sendiri. Tapi, kalau itu keputusan kamu, mama hanya bisa mendoakan mudah-mudahan ini yang terbaik. Andri, janganlah kamu menyakiti orang yang kamu cintai, karena rasa sakit itu akan kembali kepadamu. Ingat itu, sayang!” Panjang lebar ibuku menceramahiku pagi ini. Ternyata ibu sangat menyayangi Yuna. Beruntung sekali dia, dapat dukungan dari ibuku.
“Iya, ma. Andri tahu kok. Andri pergi sekolah dulu, ya. Assalamualaikum.” Aku pamit dengan ibuku. Kucium tangan ibu. Sangat lembut. Seperti tangannya Yuna. Begitu halus. Ya, Tuhan. Kenapa aku teringat dia terus? Aku harus belajar hidup tanpa dia.
“Andri, kamu baru datang, ya? Gimana kabar kamu sekarang?” Seorang anak perempuan menyapaku, Laura. Ada gerangan apa sehingga ia menyapaku hari ini? Setelah pengkhianatannya padaku kami tidak pernah berhubungan lagi.
“Emm, Laura. Aku baik-baik saja, kok. Ada apa, ya? Kenapa kamu menyapaku? What’s wrong?” Sikapnya aneh hari ini. Mungkin perasaanku saja. “Gak ada apa-apa, sih. Aku hanya ingin menyapa kamu saja. Memangnya gak boleh, ya?” Dia tersenyum padaku. Itu salah satu hal yang membuatku mencintainya. Tapi, itu dulu.
“Boleh, kok. Tapi aku mau ke kelas dulu, ya? Masih ada urusan sama teman-teman. Aku duluan, ya?” Sebelum aku melangkahkan kakiku, aku melihat sekelabat bayangan berlari menjauhi koridor tempatku berbicara dengan Laura. Itu Yuna. Kenapa dia lari? Apakah karena melihatku bersama Laura?
Sepanjang hari ini, aku pun tidak melihat Yuna sejak pagi tadi. Setelah dia lari. Kemana dia? Tapi, apa juga peduliku. Dia itu cuma bisa menggangguku saja. Ketika aku tiba di rumah, tidak ada pesan dari Yuna. Biasanya dia selalu mengirim pesan untukku. Tapi, kenapa hari ini dia tidak melakukan hal itu?
Sampai malam pun, tidak ada pesan yang masuk dari Yuna. Kenapa tiba-tiba aku merindukan dia? Aku rindu semua pesan darinya. Aku rindu saat-saat ketika aku diganggu olehnya. Apa terjadi sesuatu padanya?
Dengan hati gelisah ku buka jejaring sosialku. Aku berharap dia online malam ini. Setidaknya aku ingin melihat status-status kesedihannya itu. Yupz, kali ini aku tidak salah. Dia menulis statusnya yang terbaru.
“Dunia, haruskah aku melepaskannya? Apakah aku harus berhenti mengejar hatinya? Aku terlalu lelah untuk itu…”
Hmm, orang yang dia maksud adalah aku. Jadi, Yuna sekarang tidak mau menggangguku lagi. Oh, suatu kemajuan. Tapi, kenapa aku merindukan hadirnya? Aku merasakan sesuatu di lubuk hatiku. Rasa sedih, rasa kehilangan seperti ketika ia menangis di hadapanku. Rasa sakit ketika aku memutuskan untuk meninggalkannya. Apa yang terjadi padaku? Sesuatu yang salah telah terjadi di hidupku dan aku baru menyadarinya sekarang.
Pagi ini dengan rasa sakit yang menusuk hatiku, aku berangkat ke sekolah. Aku berharap bertemu Yuna hari ini. Aku merindukan dia.
Beruntung aku melihat dia berjalan di depanku. Aku ingin memanggilnya tapi aku terlalu takut. Yuna, berhenti! Aku ingin bicara denganmu. Tapi, itu semua hanya aku katakan di dalam hatiku.
“Yuna, tunggu!” Aku memanggil namanya. Aku berlari mengejarnya ketika ku lihat ia mempercepat langkahnya. Jadi, ia mau menghindar dariku. Hal itu tidak akan ku biarkan.
“Yuna, aku mau bicara. Tak bisakah kamu berpaling kepadaku?” Aku memintanya untuk menatap mataku. Ia kemudian berbalik dan menghadap ke arahku. Ku lihat mukanya sangat pucat. Kedua matanya sembab. Tetap saja, ia tak pernah berubah. Cengeng.
“Ada apa?” Dua kata keluar dari bibirnya yang tipis. Hanya itu yang ia katakan. Sangat singkat, pikirku.
“Aku ingin bilang sama kamu kalau aku…” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, ku lihat ia kehilangan keseimbangan. Dengan cepat ku rangkul tubuhnya. Apa yang terjadi? Matanya terpejam. Apa dia akan meninggal?
Aku meminta tolong kepada beberapa siswa lain untuk membantuku membawa Yuna ke ruang UKS. Beberapa menit berlalu, tapi ia belum sadarkan diri. Yuna pingsan, begitu kata dokter yang bertugas di sekolahku. Ya, Tuhan. Jangan kau ambil nyawanya. Aku sangat membutuhkan dia.
Tak lama kemudian, ia sadarkan diri. Aku sangat bahagia. Aku betul-betul takut kehilangan dia. Aku menatap matanya. Tiba-tiba debar-debar cinta berkecamuk di hatiku. Rasanya sudah lama aku tidak merasakannya. Dia tersenyum padaku, membuat jantungku makin berdetak kencang. Ternyata, aku jatuh cinta lagi padanya. Cinta untuk yang kedua kalinya kepada dia, orang yang sama yang dulu pernah ku cintai. Aku tidak bisa menahan perasaanku lagi. Aku sangat ingin bersama dia lagi.
“Yuna, maafkan aku. Sekarang aku sadar, aku sangat mencintaimu. Aku tidak mau kehilangan kamu lagi. Maukah kau merajut cinta kita lagi?” Aku berharap-harap cemas. Aku betul-betul takut kehilangan dia. Yuna, aku janji. Aku tidak akan menyakitimu lagi. Aku hanya akan membuatmu tersenyum seperti saat ini.
Ia kemudian menganggukkan kepalanya. Ia mau menerima aku kembali. Yuna, terima kasih. Cukup sekali aku kehilanganmu. Aku tidak akan lagi membiarkanmu pergi. Percayalah padaku, aku akan membuatmu tersenyum setiap hari. Aku berjanji. Aku jatuh cinta kepadamu untuk yang kedua kalinya, Yuna.
Kelua, 7th July 2012
Cerpen Karangan: Rahmi Pratiwi
Facebook: Rahmi Chelsea Ayumi Aprilia
Nama: Rahmi Pratiwi
TTL: Kelua,27 April 1996
Sekolah: SMA N 1 Kelua Kelas XII IPA 2 (Tabalong Kalsel)
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com